Rabu, 05 Mei 2010
MUSEUM KRETEK KUDUS
Museum Kretek Kudus
Bangungan yang di resmikan dan dibuka pada tahun 1906 ini merupakan gagasan dari gubernur Jawa Tengah pada waktu itu yaitu H. Soepardjo Roestam dengan tujuan untuk menyelamatkan dan menyajikan benda-benda koleksi yang berhubungan dengan perkembangan perusahaan rokok kretek di kota Kudus.
Terletak di Desa Getas Pejaten No. 155, Kecamatan Jati Kudus, Kabupaten Kudus, Propinsi Jawa Tengah, Museum yang berdiri di atas areal seluas 2 hektar ini terbilang cukup indah dan megah. Interior Museum dipenuhi dengan patung-patung dan berbagai macam perlengkapan pembuatan rokok. Patung-patung yang apik dan ornamen-ornamen lainnya buah karya seniman-seniman terpilih dari kota Kudus juga bisa dilihat di museum ini.
Sampai saat ini, Museum Kretek merupakan museum rokok terbesar di Indonesia. Untuk mengenang para tokoh yang telah berjasa besar dalam industri rokok di Kudus, pengelola museum mengabadikan figur mereka melalui lukisan-lukisan yang dipajang di dinding museum. Di dalam Museum Kretek ini tersimpan berbagai peralatan dan mesin-mesin tradisional pembuatan rokok kretek dan rokok klobot serta sarana promosi rokok pada masa itu. Secara umum, ada lima koleksi besar alat produksi rokok di museum ini: koleksi gilingan cengkeh (alat perajang cengkeh glondong), koleksi gilingan tembakau (alat pengurai tembakau), koleksi krondo (alat untuk memisahkan batang tembakau yang kasar dan yang halus), dan koleksi alat perajang tembakau.
Selain itu pengunjung juga dapat melihat foto-foto dokumentasi lintasan sejarah rokok kretek Kudus dan juga dapat mengamati diorama yang menggambarkan proses produksi baik secara tradisional (dengan tangan tanpa alat bantu dan produksi rokok giling tangan yang menghasilkan rokok kretek dan rokok klobot) maupun proses produksi rokok filter dengan mesin modern. Selain itu di samping kiri museum agak ke depan didirikan rumah adat Kudus, meski tidak sebagus dan selengkap rumah adat Kudus yang dimiliki puluhan warga. Dan sekarang ini Museum kretek juga dilengkapi dengan arena bermain untuk anak.
Museum Kretek, yang terletak di Desa Getaspejaten, Kecamatan Jati, Kabupaten Kudus, cukup mudah. Ketika memasuki wilayah administrasi Kabupaten Kudus dari arah Semarang, yaitu di perbatasan Kudus-Demak, tinggal mengikuti jalan raya-lurus ke depan sejauh sekitar dua kilometer. Lalu ketika tiba di Kantor PLN Cabang Kudus, berbelok ke kanan sejauh 150 meter—tembus perempatan jalan. Nah di pojok perempatan itulah, Museum Kretek yang bangunannya berbentuk joglo-khas Jawa berada.
Museum yang konon satu-satunya di dunia, dibangun secara bertahap dengan peletakan batu pertama Gubernur Jawa Tengah, Ismail, 11 Desember 1984. Diresmikan Menteri Dalam Negeri Soepardjo Roestam pada 3 Oktober 1986, dengan biaya patungan dari Persatuan Perusahaan Rokok Kudus (PPRK) dengan Pemerintah Kabupaten Kudus. Disebut sebagai museum kretek satu-satunya di dunia karena sejarah rokok kretek di Indonesia cikal-bakalnya berasal dari Kudus. Penemunya, menurut buku biografi singkat M Nitisemito, disebut Haji Djamhari, tetapi Ketua MUI, menyebut Haji Jamari, ada lagi yang menulis Jamahri dan Jumahri. Memang mirip satu sama lain, tetapi ke depan alangkah baiknya jika penulisan itu disepakati satu nama saja.
Meski ia sebagai penemu, tetapi justru Nitisemito, putra bungsu Haji Soelaeman, yang menjabat sebagai Lurah Desa Janggalan Kota Kudus, yang tercatat sebagai orang pertama yang mampu memproduksi rokok kretek dan mengembangkannya menjadi industri serta akhirnya dikenal sebagai Raja Kretek Indonesia. Mengingat Haji Djamhari (menggunakan nama dari buku biografi singkat M Nitisemito), maka menurut pemerhati budaya asal Kudus, Djoko Herryanto, lahirnya industri rokok kretek Kudus pada 1870-1880.
Sedang Raja Kretek yang lahir 1863, baru membuka warungnya di sebelah barat sungai Gelis dan menjual rokok produksinya sendiri pada 1906. Rokok itu terbuat dari campuran tembakau dan cengkeh, dengan pembungkus daun jagung muda (klobot). Seiring dengan kehadiran Haji Djamhari, Nitisemito, kemudian muncullah perusahaan rokok skala rumah tangga bagai jamur di musim hujan di Kudus, terutama di Kudus Kulon (Kota Kudus di sebelah barat Sungai Gelis).
Sejarah Haji Djamhari dan Nitisemito, hingga perkembangan industri rokok kretek di Kudus menjelang awal Oktober 1986 (termasuk berbagai benda bersejarah dari mesin tik, alat pemroses rokok tradisional, foto-foto, dan sebagainya) itulah yang menjadi inti dari isi Museum Kretek. Guna menambah daya pikat pengunjung, di samping kiri museum agak ke depan didirikan rumah adat Kudus, meski tidak sebagus dan selengkap rumah adat Kudus yang dimiliki puluhan warga.
Selain masih dijumpai banyak kekurangan, tetapi menurut Djoko Herryanto, kehadiran Museum Kretek, mempertegas Kudus Kota Kretek. Ini bisa disejajarkan dengan Jakarta Kota Metropolitan, Jogjakarta Kota Pelajar, Pekalongan Kota Batik. Namun masih dibutuhkan perjuangan warga Kudus, pengusaha rokok, akademisi, dan Pemkab Kudus untuk membentuk image bahwa Kudus Kota Kretek mempunyai nilai strategis untuk mengangkat nama Indonesia sejajar dengan bangsa-bangsa lain di dunia. Ia menambahkan, bila pengakuan resmi tingkat daerah, nasional, dan internasional mampu diwujudkan dalam bentuk simbiosis yang sempurna antara de jure dan de facto, tentulah akan menjadi suatu kebanggaan tersendiri bahwa di sinilah, di negeri Indonesia, budaya kretek kali pertama muncul.
Disebut sebagai museum kretek satu-satunya di dunia karena sejarah rokok kretek di Indonesia cikal-bakalnya berasal dari Kudus. Penemunya, menurut buku biografi singkat M Nitisemito, disebut Haji Djamhari, tetapi Ketua MUI, menyebut Haji Jamari, ada lagi yang menulis Jamahri dan Jumahri. Memang mirip satu sama lain, tetapi ke depan alangkah baiknya jika penulisan itu disepakati satu nama saja. Meski ia sebagai penemu, tetapi justru Nitisemito, putra bungsu Haji Soelaeman, yang menjabat sebagai Lurah Desa Janggalan Kota Kudus, yang tercatat sebagai orang pertama yang mampu memproduksi rokok kretek dan mengembangkannya menjadi industri serta akhirnya dikenal sebagai Raja Kretek Indonesia.
Mengingat Haji Djamhari (menggunakan nama dari buku biografi singkat M Nitisemito), maka menurut pemerhati budaya asal Kudus, Djoko Herryanto, lahirnya industri rokok kretek Kudus pada 1870-1880. Sedang Raja Kretek yang lahir 1863, baru membuka warungnya di sebelah barat sungai Gelis dan menjual rokok produksinya sendiri pada 1906. Rokok itu terbuat dari campuran tembakau dan cengkeh, dengan pembungkus daun jagung muda (klobot). Seiring dengan kehadiran Haji Djamhari, Nitisemito, kemudian muncullah perusahaan rokok skala rumah tangga bagai jamur di musim hujan di Kudus, terutama di Kudus Kulon (Kota Kudus di sebelah barat Sungai Gelis). Sejarah Haji Djamhari dan Nitisemito, hingga perkembangan industri rokok kretek di Kudus menjelang awal Oktober 1986 (termasuk berbagai benda bersejarah dari mesin tik, alat pemroses rokok tradisional, foto-foto, dan sebagainya) itulah yang menjadi inti dari isi Museum Kretek.
Guna menambah daya pikat pengunjung, di samping kiri museum agak ke depan didirikan rumah adat Kudus, meski tidak sebagus dan selengkap rumah adat Kudus yang dimiliki puluhan warga. Selain masih dijumpai banyak kekurangan, tetapi menurut Djoko Herryanto, kehadiran Museum Kretek, mempertegas Kudus Kota Kretek. Ini bisa disejajarkan dengan Jakarta Kota Metropolitan, Jogjakarta Kota Pelajar, Pekalongan Kota Batik. Namun masih dibutuhkan perjuangan warga Kudus, pengusaha rokok, akademisi, dan Pemkab Kudus untuk membentuk image bahwa Kudus Kota Kretek mempunyai nilai strategis untuk mengangkat nama Indonesia sejajar dengan bangsa-bangsa lain di dunia.
Ia menambahkan, bila pengakuan resmi tingkat daerah, nasional, dan internasional mampu diwujudkan dalam bentuk simbiosis yang sempurna antara de jure dan de facto, tentulah akan menjadi suatu kebanggaan tersendiri bahwa di sinilah, di negeri Indonesia, budaya kretek kali pertama muncul.Ditengah terpuruknya ekonomi dan tidak menentunya nasib rakyat, masih ada satu kebanggaan rakyat negeri ini, yakni pengakuan dunia internasional bahwa rokok kretek adalah murni penemuan putera bangsa Indonesia.
Sejarah mencatat, rokok kretek ditemukan oleh H. Djamhari yang kemudian dikembangkan oleh konglomerat Kudus bernama Ki Nitisemito. Ki Nitisemito merupakan salah satu legenda dan pengusaha rokok kretek di Indonesia dengan produknya (Bal Tiga) yang terkenal pada masanya. Peninggalan Ki Nitisemito yang tersisa saat ini, adalah "rumah kembar" dengan arsitektur menawan yang berada di Barat dan Timur Kaligelis, tak jauh dari Menara Kudus berada. Rokok kretek sendiri telah menjadi salah satu tulang punggung perekonomian rakyat di berbagai daerah seperti Kudus, Kediri dan Malang. Ratusan ribu tenaga kerja terserap di sini. Tentunya ini meringankan beban Negara untuk menyiapkan lapangan kerja bagi rakyatnya. Selain itu, pendapatan Negara dari hasil bea cukai perusahaan rokok tidak lah sedikit.
Triliun rupiah setiap hari masuk ke kas Negara dari bea cukai rokok. Cukai rokok terbesar didapat dari perusahaan-perusahaan besar seperti Djarum, Sampoerna, Gudang Garam, Bentoel, Nojorono dan Sukun. Besarnya penghasilan Negara dari bea cukai rokok ini, tentu berperan signifikan bagi pembangunan Negara, pendapatan Negara dari cukai rokok tersebut dipergunakan dengan semestinya. Segala sesuatu mempunyai sejarahnya masing-masing. Tak terkecuali rokok kretek. Keberhasilan perusahaan-perusahaan rokok raksasa yang ada, tidak didapat secara tiba-tiba. Melainkan sejarah panjang dan perjalanan yang melelahkan, harus dilalui. Sejarah panjang dan perjalanan rokok kretek di Indonesia, dapat kita baca dan saksikan dalam museum kretek yang ada di Kudus. Sebuah museum yang di dalamnya sejarah rokok kretek terseimpan. Mesuem ini juga mempunyai miniatur proses pembuatan rokok mulai dari awal hingga dipasarkan.
Sayang, keberadaan museum ini kurang begitu dikenal oleh masyarakat secara luas. Padahal, museum ini selain sebagai tujuan wisata, juga bisa dijadikan sebagai tempat riset (penelitian) pelajar, mahasiswa dan cendekiawan lainnya. Karenanya, pemerintah daerah hendaknya memperhatikan keberadaan yang secara structural, seharusnya berada di bawah dinas pariwisata dan kebudayaan.
Pertama, memperbanyak sosialisasi tentang keberadaan museum ini hingga tingkat nasional dan internasional. Selama ini, sosialisasi terkait museum kretek baik di tingkat local, regional maupun nasional, sangat lah kurang. Sehingga museum kretek kurang dikenal. Ironisnya, museum cagar budaya ini lebih banyak dijadikan sebagai ajang memadu kasih para remaja.
Kedua, mempercantik museum dan penambahan fasilitas. Keberadaan museum kretek saat ini, kurang lah menarik bagi pengunjung. Selain koleksi yang terlihat kotor, fasilitas pendukung yang bisa merangsang pengunjung untuk datang juga sangat kurang. Hanya ada satu bangunan pendukung, yaitu rumah adat sumbangan dari PT. Djarum.
Ketiga, menjalin kerjasama dengan berbagai perguruan tinggi dan dinas terkait untuk melaksanakan riset serta diskusi dan seminar. Dengan begitu, sosialisasi secara tidak langsung akan lebih meluas di kalangan masyarakat. Selayaknya lah warga kudus berbangga, karena ialah satu-satunya kota yang memiliki museum kretek. Dengan itu pula, Kudus dikenal dengan sebutan "Kota Kretek".
Keberadaan museum kretek tersebut, pada gilirannya memunculkan tanggungjawab besar untuk merawatnya di satu sisi. Di sisi lain, keberadaannya juga bisa membawa berkah bagi masyarakat sekitar. Museum akan memiliki nilai manfaat, apabila keberadannya tidak sekadar dilihat sebagai prasasti atau monument. Lebih dari itu, dijadikan sebagai tujuan wisata sejarah, yang bisa meberikan kontribusi bagi pertumbuhan ekonomi masyarakat sekitar secara tidak langsung.
Untuk mewujudkan cita-cita ini, tidak sulit. Karena museum ini berdekatan dengan sarana pendukung, yaitu kawasan kuliner khas Kudus, yaitu Lentog Tanjung dan Soto Ayam Pak Denuh. Selain itu, tak jauh dari sana, juga terdapat pusat jenang Kudus Mubarokfood Cipta Delicia dengan produknya yang sudah dikenal hingga Brunai, Malaysia, Abu Dhabi, Arab Saudi, Singapore bahkan Amerika.
Namun niatan itu, tidak akan berarti tanpa adanya dukungan dan perhatian pemerintah setempat dan tentu saja oleh persatuan perusahaan rokok yang ada. Sinergi antara pemerintah daerah dan pengusaha rokok kretek menjadi sesuatu yang wajib dilakukan, agar mewujudkan kudus sebagai pusat wisata kota kretek, tidak lagi sekadar wacana. Selayaknya lah, masyarakat Kudus berbangga dengan keberadaan museum kretek di kotanya
MUSEUM KRETEK KUDUS
Museum Kretek Kudus berada di Jalan Getas Pejaten 155, Kudus. Gagasan pendirian museum ini bermula dari Gubernur Jawa Tengah pada waktu itu, Bapak Soepardjo Roestam yang melihat kota Kudus sebagai ”Kota Kretek” tetapi belum memiliki pusat informasi tentang keberadaan maupun sejarah perkembangan rokok kretek di Kudus. Gagsan tersebut disambut baik oleh Persatuan Pabrik Rokok Kudus (PPRK) yang selanjutnya merencanakan dibangunnya Museum Kretek pada lahan seluas 4,5 Ha dengan luas bangunan 1.500 m2. Pada tanggal 3 Oktober 1986 Museum Kretek Kudus diresmikan oleh Bapak Soepardjo Roestam. Pada lahan tersebut juga dibangun rumah tradisional Kudus lengkap dengan kamar mandinya yang berada di luar rumah.
Koleksi yang dimiliki antara lain benda-benda pribadi milik Nitiemito, tokoh rokok kretek Kudus (blangkon, jam, tempat rokok, surat-surat, pena, foto diri), diorama pembuatan rokok kretek secara tradisional dan secara modern, mesin-mesin pembuatan rokok kretek (gilingan cengkeh dan gilingan tembakau), jenis-jenis tembakau dan cengkeh, macam-macam produksi rokok kretek tempo dulu, macam-macam barang promosi (gelas, poci, piring, mangkok, kaos, topi, dll), foto-foto para tokoh pendiri pabrik rokok kretek di Kudus.
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar