Senin, 10 Mei 2010
OBJEK WISATA RAHTAWU
ObjeK Wisata Rahtawu
Satu lagi wisata alam yang ditawarkan lereng Gunung Muria di wilayah Kabupaten Kudus, yakni objek wisata Rahtawu. Objek wisata alam yang berjarak sekitar 20 kilometer dari pusat kota Kudus ini menawarkan perpaduan antara keindahan wisata alam pegunungan dan wisata religi.
Selain kesegaran dan keindahan alam pegunungan Muria, pengunjung dapat menikmati peninggalan sejarah berupa petilasan dari cerita pewayangan seperti, Hyang Pandan, Argojambangan, Jonggring Saloko, dan
sebagainya.
Objek wisata yang berada pada ketinggian sekitar 1.627 meter di atas permukaan laut ini juga menjadi salah satu tempat favorit bagi para pecinta alam dan olah raga mendaki gunung.
Puncak pengunungan Rahtawu yang disebut dengan puncak 'Songo Likur' menjadi tujuan para pecinta olah raga mendaki. Selain itu, bila pengunjung ingin sekadar menikmati kesejukan alam pegunungan, di sekitar objek wisata ini juga tersedia penginapan, restoran serta fasilitas wisata lainnya.
Rabu, 05 Mei 2010
MENARA KUDUS
Kudus - Dari sekian masjid bersejarah di Indonesia, Masjid Menara Kudus (Jawa Tengah) punya keunikan tersendiri. Sebuah menara mirip candi berdiri anggun di sebelah kiri depan masjid. Banyak masyarakat awam, bahkan para arkeolog yang bertanya-tanya, bagaimana elemen masjid mengadopsi model bangunan tempat ibadah umat Hindu dan Buddha.
Tidak hanya menara, bangunan-bangunan di sekeliling masjid juga banyak yang mirip dengan bangunan candi. Gapura di depan masjid yang tersusun dari batu bata tanpa semen tidak lain merupakan ciri khas candi di Jawa Timur. Ada juga pancuran untuk wudhu yang berjumlah delapan. Di atas pancuran itu diletakkan arca. Jumlah delapan pancuran, konon mengadaptasi keyakinan Buddha, yakni 'Delapan Jalan Kebenaran' atau Asta Sanghika Marga.
Menara menjadi elemen masjid yang paling menonjol. Sehingga, masjid yang semula bernama Masjid Al-Aqsa itu kemudian terkenal dengan Masjid Menara Kudus. Percampuran yang begitu mencolok antara ciri-ciri kebudayaan Hindu-Buddha dengan Islam memunculkan banyak cerita seputar awal mula berdirinya masjid. Ada cerita yang bersumber dari sejarah, namun tak sedikit pula yang bernuansa mitos.
Cerita tersebut, baik sejarah maupun mitos itu, sejatinya ingin menjelaskan bagaimana sang pendiri masjid, Sunan Kudus, melakukan dakwah Islam secara bijaksana (hikmah). Hasil dakwahnya sangat luar biasa. Penduduk setempat yang dahulunya pemeluk taat ajaran Hindu-Buddha, beralih memeluk ajaran tauhid (Islam). Kunci sukses Sunan Kudus terletak pada kemampuannya melakukan pribumisasi ajaran Islam di tengah masyarakat yang sudah punya budaya mapan.
Sunan Kudus dikenal sebagai seorang ahli agama, terutama dalam disiplin ilmu tauhid, hadis, dan fikih. Dari sembilan wali yang diakui di Tanah Jawa, hanya beliau yang bergelar 'Waliyyul Ilmi' (wali yang berpengetahuan luas).
Konon, Sunan Kudus sangat menghormati tradisi keagamaan yang berlaku di masyarakat Loaram--nama lama Kota Kudus. Ada sebuah tradisi keagamaan yang begitu mengakar kuat, yaitu larangan menyembelih sapi. Bagi masyarakat Hindu, menyembelih sapi adalah tindakan terlarang, tidak boleh secara agama. Untuk menghormati tradisi agama yang sudah berlaku itu, Sunan Kudus pun melarang pengikutnya menyembelih sapi.
Suatu ketika Sunan Kudus mengikat sapi di pekarangan masjid. Setelah umat Hindu datang ke pekarangan itu, Sunan Kudus menyampaikan nasihat keagamaan. Model dakwah sang Sunan yang demikian itu sangat menggugah kesadaran keagamaan banyak orang. Mereka pun berbondong-bondong beralih keyakinan menjadi Muslim. Sampai kini, larangan menyembelih sapi di Kudus secara adat masih berlaku.
Kenang-kenangan dari Yerusalem
Islamisasi masyarakat Kudus diwarnai dengan pencampuran warisan budaya Hindu-Buddha dengan nilai-nilai Islam. Di samping melestarikan tradisi-tradisi, Sunan Kudus juga memelihara simbol-simbol budaya lama. Tujuannya agar nilai-nilai Islam dapat diterima masyarakat tanpa menimbulkan gejolak sosial.
Warisan budaya benda yang paling penting dalam tradisi Hindu-Buddha adalah candi. Contoh terbaik percampuran budaya lokal dengan nilai-nilai Islam dapat dilihat dari menara masjid.
Di balik bangunan berbentuk candi itu, terpendam sebuah kisah pendirian masjid yang hingga saat ini dipercaya kebenarannya oleh masyarakat luas. Masjid dan namanya, Masjid Al-Aqsa, berkaitan erat dengan kota para nabi di Timur Tengah, yaitu Bait Al-Maqdis, atau Al-Quds di Yerusalem.
Suatu ketika Syekh Ja'far Shadiq (Sunan Kudus) berada di Makkah untuk menunaikan ibadah haji. Wabah penyakit kudis tiba-tiba merajalela di tanah suci itu. Segala upaya pencegahan telah dilakukan, namun tidak ada hasilnya. Akhirnya, Amir (penguasa) Makkah meminta Syekh Ja'far Shadiq turun tangan mencegah wabah penyakit yang kian hari kian mengganas.
Singkat cerita, Syekh Ja'far Shadiq berhasil menghentikan merebaknya penyakit kudis itu. Amir Makkah kemudian bermaksud memberinya hadiah, namun beliau menolak. Beliau hanya meminta jika berada di Palestina agar diizinkan mengambil sebuah batu dari Bait Al-Maqdis. Amir Makkah pun mengizinkan. Ketika pulang ke Jawa, Syekh Ja'far Shadiq membawa batu itu dan dijadikan batu pertama dalam pembangunan masjid yang diberi nama Masjid Al-Aqsa.
Masjid Al-Aqsa atau Masjid Menara Kudus didirikan pada 956 H atau 1549 M. Hal itu dapat diketahui dari inskripsi di atas mihrab masjid yang ditulis dalam bahasa Arab. Sayangnya, tulisan pada inskripsi itu sudah sulit dibaca karena banyak huruf yang rusak. Konon, batu inskripsi itulah yang dibawa oleh Sunan Kudus dari Yerusalem. Lebarnya 30 sentimeter dan panjangnya 46 sentimeter.
Pada awal pembangunannya, tinggi Masjid Menara Kudus hanya 13,25 meter. Setelah direnovasi, tingginya menjadi 17,45 meter. Kemudian pada 1925 M, di bagian depan ditambah bangunan baru berupa serambi. Penambahan ruang masjid terus dilakukan seiring dengan bertambah banyaknya jumlah jamaah.
Pada 5 November 1933 M, sebuah serambi dibangun kembali di depan serambi sebelumnya. Dengan demikian, Kori Agung atau Lawang Kembar (pembatas ruang yang terbuat dari kayu ukir) yang dahulu berada di serambi kini di dalamnya. Di atas serambi yang baru itu terdapat kubah besar bergaya arsitektur India.
Di sekelilingnya dihiasi tulisan kaligrafi Arab yang memuat nama-nama sahabat Nabi SAW, seperti para Khulafaurrasyidin, Thalhah bin Ubaidillah, Zubair bin Awwam, dan Abdurrahman bin 'Auf. Termaktub juga nama-nama empat ulama mazhab ternama, yaitu Imam Hanafi, Hambali, Syafi'i, dan Malik.
Masjid Al-Aqsa atau Masjid Menara Kudus ini terletak di Desa Kauman, Kabupaten Kudus, Provinsi Jawa Tengah. Letak Masjid Menara Kudus ini cukup dekat dengan pusat Kota Kudus (alun-alun kota), yaitu berjarak sekitar 1,5 kilometer ke arah barat. rid/berbagai sumber
Keunikan Menara Kudus
Denys Lombard pernah menulis bahwa Kota Kudus mengambil nama dari Al-Quds, nama lain dari Yerusalem yang artinya kota suci. Di kota inilah Masjid Menara Kudus berdiri. Keberadaannya melambangkan secara visual peralihan kepercayaan masyarakat dari Hindu-Buddha ke Islam.
Kalau dicermati secara saksama, bentuk menara masjid sangat mirip dengan candi. Banyak pengamat memberikan komentar seputar bentuk menara yang unik itu. Ada yang mengatakan bentuknya mirip dengan candi-candi di Jawa Timur pada masa Majapahit dengan penambahan beberapa bagian sesuai dengan fungsinya.
Ada pula yang berpendapat, beberapa gapura di sekitar menara yang bentuknya mirip bangunan kulkul di Bali, mengindikasikan menara itu tidak hanya dipengaruhi candi-candi di Jawa Timur. Di dalam kulkul terdapat kentungan yang dipukul untuk menyampaikan informasi kepada penduduk sekitar.
Hal yang sama juga terdapat di Menara Kudus. Di bagian atas menara ini, diletakkan bedug dan kentungan yang dipukul sebagai tanda datangnya waktu-waktu tertentu. Pendapat yang kedua ini menegaskan bahwa Menara Kudus terpengaruh oleh arsitektur Hindu Bali.
Ada elemen lain yang membuat bangunan berbentuk candi itu bertambah unik, yaitu bagian kepala menara yang berbentuk atap tumpang atau tajuk dari kayu jati dengan empat saka guru yang menopangnya. Itu adalah atap khas rumah Jawa-Hindu yang setelah diadaptasi oleh ajaran Islam mengandung makna iman, Islam, dan ihsan. rid
Sunan Kudus dan Sang Guru dari Negeri Cina
Menceritakan sejarah berdirinya Kota Kudus, rasanya tak lengkap tanpa menyebut nama seorang tokoh legendaris asal Cina yang bernama The Ling Sing. Orang Jawa biasanya menyebutnya Kiai Telingsing. Tokoh ini tidak lain adalah guru Sunan Kudus. Makamnya terletak di dekat Masjid Kyai Telingsing di Kampung Sunggingan, Kudus.
Sayangnya, tidak ada sumber sejarah yang memadai tentang tokoh ini, kecuali beberapa lembar catatan tentangnya yang disimpan oleh Persatuan Islam Tionghoa Indonesia (PITI). Menurut cerita yang berkembang di masyarakat, Kiai Telingsing adalah tukang kayu keturunan Tionghoa. Beliau turut menyebarkan agama Islam di Kudus bersama Sunan Kudus.
Ada cerita menarik tentang kisah hidup Kiai Telingsing dengan Sunan Kudus yang ditulis di atas selembar kertas bertanggal 5 Februari 1974 dan beralamat di Sunggingan 156, Kudus. Alkisah, pada suatu hari The Ling Sing muda sedang bermain layang-layang. Tiba-tiba ia berhasrat pergi ke Nusantara. Maka, ia memanjat benang layang-layangnya itu.
Ketika The Ling Sing sudah dewasa, ayahnya berkata kepadanya, ''Kalau engkau ingin menjadi orang baik di dunia dan akhirat, engkau harus pergi ke Nusantara, karena saya pernah hidup di sana.'' Maka, berangkatlah The Ling Sing ke Nusantara dan tiba di Kudus. Kemudian, ia melakukan dakwah Islam.
Setelah runtuhnya Kerajaan Majapahit pada 1478 M, Raden Patah mengambil alih kekuasaan dan mendirikan Kerajaan Demak. Pada suatu hari, semua wali bermusyawarah dan memutuskan mengangkat Ja'far Shadiq sebagai Sunan Kudus. Sejak saat itu, sang Sunan berdakwah di Kudus dan bertemu dengan The Ling Sing (Kiai Telingsing) yang telah lebih dulu berdakwah di daerah itu.
Dengan strategi yang baik, akhirnya mereka berdua berhasil mengislamkan seluruh penduduk Kudus. Berita tentang keberhasilan mereka didengar oleh semua wali, yang kemudian segera datang ke Kudus dan memutuskan Sunan Kudus sebagai wakil resmi Kesultanan Demak di Kudus.
Pada suatu hari, ketika Sunan Kudus menjamu tamu-tamunya dari Tiongkok, beliau meminta Kiai Telingsing membuatkan hadiah yang pantas. Dia lalu membuat kendi yang hiasannya terletak di bagian dalam. Ketika Sunan Kudus melihat kendi yang tampak tidak istimewa, beliau marah dan membanting kendi itu ke tanah.
Kendi itu pun terbelah. Setelah Sunan Kudus melihat hiasan kaligrafi indah dalam kendi yang sudah pecah itu, barulah beliau menyadari kepandaian Kiai Telingsing. Sunan Kudus pun sadar, meskipun beliau punya pengetahuan agama yang tinggi, namun Kiai Telingsing tetap menjadi gurunya dalam hal kewalian.
MUSEUM KRETEK KUDUS
Museum Kretek Kudus
Bangungan yang di resmikan dan dibuka pada tahun 1906 ini merupakan gagasan dari gubernur Jawa Tengah pada waktu itu yaitu H. Soepardjo Roestam dengan tujuan untuk menyelamatkan dan menyajikan benda-benda koleksi yang berhubungan dengan perkembangan perusahaan rokok kretek di kota Kudus.
Terletak di Desa Getas Pejaten No. 155, Kecamatan Jati Kudus, Kabupaten Kudus, Propinsi Jawa Tengah, Museum yang berdiri di atas areal seluas 2 hektar ini terbilang cukup indah dan megah. Interior Museum dipenuhi dengan patung-patung dan berbagai macam perlengkapan pembuatan rokok. Patung-patung yang apik dan ornamen-ornamen lainnya buah karya seniman-seniman terpilih dari kota Kudus juga bisa dilihat di museum ini.
Sampai saat ini, Museum Kretek merupakan museum rokok terbesar di Indonesia. Untuk mengenang para tokoh yang telah berjasa besar dalam industri rokok di Kudus, pengelola museum mengabadikan figur mereka melalui lukisan-lukisan yang dipajang di dinding museum. Di dalam Museum Kretek ini tersimpan berbagai peralatan dan mesin-mesin tradisional pembuatan rokok kretek dan rokok klobot serta sarana promosi rokok pada masa itu. Secara umum, ada lima koleksi besar alat produksi rokok di museum ini: koleksi gilingan cengkeh (alat perajang cengkeh glondong), koleksi gilingan tembakau (alat pengurai tembakau), koleksi krondo (alat untuk memisahkan batang tembakau yang kasar dan yang halus), dan koleksi alat perajang tembakau.
Selain itu pengunjung juga dapat melihat foto-foto dokumentasi lintasan sejarah rokok kretek Kudus dan juga dapat mengamati diorama yang menggambarkan proses produksi baik secara tradisional (dengan tangan tanpa alat bantu dan produksi rokok giling tangan yang menghasilkan rokok kretek dan rokok klobot) maupun proses produksi rokok filter dengan mesin modern. Selain itu di samping kiri museum agak ke depan didirikan rumah adat Kudus, meski tidak sebagus dan selengkap rumah adat Kudus yang dimiliki puluhan warga. Dan sekarang ini Museum kretek juga dilengkapi dengan arena bermain untuk anak.
Museum Kretek, yang terletak di Desa Getaspejaten, Kecamatan Jati, Kabupaten Kudus, cukup mudah. Ketika memasuki wilayah administrasi Kabupaten Kudus dari arah Semarang, yaitu di perbatasan Kudus-Demak, tinggal mengikuti jalan raya-lurus ke depan sejauh sekitar dua kilometer. Lalu ketika tiba di Kantor PLN Cabang Kudus, berbelok ke kanan sejauh 150 meter—tembus perempatan jalan. Nah di pojok perempatan itulah, Museum Kretek yang bangunannya berbentuk joglo-khas Jawa berada.
Museum yang konon satu-satunya di dunia, dibangun secara bertahap dengan peletakan batu pertama Gubernur Jawa Tengah, Ismail, 11 Desember 1984. Diresmikan Menteri Dalam Negeri Soepardjo Roestam pada 3 Oktober 1986, dengan biaya patungan dari Persatuan Perusahaan Rokok Kudus (PPRK) dengan Pemerintah Kabupaten Kudus. Disebut sebagai museum kretek satu-satunya di dunia karena sejarah rokok kretek di Indonesia cikal-bakalnya berasal dari Kudus. Penemunya, menurut buku biografi singkat M Nitisemito, disebut Haji Djamhari, tetapi Ketua MUI, menyebut Haji Jamari, ada lagi yang menulis Jamahri dan Jumahri. Memang mirip satu sama lain, tetapi ke depan alangkah baiknya jika penulisan itu disepakati satu nama saja.
Meski ia sebagai penemu, tetapi justru Nitisemito, putra bungsu Haji Soelaeman, yang menjabat sebagai Lurah Desa Janggalan Kota Kudus, yang tercatat sebagai orang pertama yang mampu memproduksi rokok kretek dan mengembangkannya menjadi industri serta akhirnya dikenal sebagai Raja Kretek Indonesia. Mengingat Haji Djamhari (menggunakan nama dari buku biografi singkat M Nitisemito), maka menurut pemerhati budaya asal Kudus, Djoko Herryanto, lahirnya industri rokok kretek Kudus pada 1870-1880.
Sedang Raja Kretek yang lahir 1863, baru membuka warungnya di sebelah barat sungai Gelis dan menjual rokok produksinya sendiri pada 1906. Rokok itu terbuat dari campuran tembakau dan cengkeh, dengan pembungkus daun jagung muda (klobot). Seiring dengan kehadiran Haji Djamhari, Nitisemito, kemudian muncullah perusahaan rokok skala rumah tangga bagai jamur di musim hujan di Kudus, terutama di Kudus Kulon (Kota Kudus di sebelah barat Sungai Gelis).
Sejarah Haji Djamhari dan Nitisemito, hingga perkembangan industri rokok kretek di Kudus menjelang awal Oktober 1986 (termasuk berbagai benda bersejarah dari mesin tik, alat pemroses rokok tradisional, foto-foto, dan sebagainya) itulah yang menjadi inti dari isi Museum Kretek. Guna menambah daya pikat pengunjung, di samping kiri museum agak ke depan didirikan rumah adat Kudus, meski tidak sebagus dan selengkap rumah adat Kudus yang dimiliki puluhan warga.
Selain masih dijumpai banyak kekurangan, tetapi menurut Djoko Herryanto, kehadiran Museum Kretek, mempertegas Kudus Kota Kretek. Ini bisa disejajarkan dengan Jakarta Kota Metropolitan, Jogjakarta Kota Pelajar, Pekalongan Kota Batik. Namun masih dibutuhkan perjuangan warga Kudus, pengusaha rokok, akademisi, dan Pemkab Kudus untuk membentuk image bahwa Kudus Kota Kretek mempunyai nilai strategis untuk mengangkat nama Indonesia sejajar dengan bangsa-bangsa lain di dunia. Ia menambahkan, bila pengakuan resmi tingkat daerah, nasional, dan internasional mampu diwujudkan dalam bentuk simbiosis yang sempurna antara de jure dan de facto, tentulah akan menjadi suatu kebanggaan tersendiri bahwa di sinilah, di negeri Indonesia, budaya kretek kali pertama muncul.
Disebut sebagai museum kretek satu-satunya di dunia karena sejarah rokok kretek di Indonesia cikal-bakalnya berasal dari Kudus. Penemunya, menurut buku biografi singkat M Nitisemito, disebut Haji Djamhari, tetapi Ketua MUI, menyebut Haji Jamari, ada lagi yang menulis Jamahri dan Jumahri. Memang mirip satu sama lain, tetapi ke depan alangkah baiknya jika penulisan itu disepakati satu nama saja. Meski ia sebagai penemu, tetapi justru Nitisemito, putra bungsu Haji Soelaeman, yang menjabat sebagai Lurah Desa Janggalan Kota Kudus, yang tercatat sebagai orang pertama yang mampu memproduksi rokok kretek dan mengembangkannya menjadi industri serta akhirnya dikenal sebagai Raja Kretek Indonesia.
Mengingat Haji Djamhari (menggunakan nama dari buku biografi singkat M Nitisemito), maka menurut pemerhati budaya asal Kudus, Djoko Herryanto, lahirnya industri rokok kretek Kudus pada 1870-1880. Sedang Raja Kretek yang lahir 1863, baru membuka warungnya di sebelah barat sungai Gelis dan menjual rokok produksinya sendiri pada 1906. Rokok itu terbuat dari campuran tembakau dan cengkeh, dengan pembungkus daun jagung muda (klobot). Seiring dengan kehadiran Haji Djamhari, Nitisemito, kemudian muncullah perusahaan rokok skala rumah tangga bagai jamur di musim hujan di Kudus, terutama di Kudus Kulon (Kota Kudus di sebelah barat Sungai Gelis). Sejarah Haji Djamhari dan Nitisemito, hingga perkembangan industri rokok kretek di Kudus menjelang awal Oktober 1986 (termasuk berbagai benda bersejarah dari mesin tik, alat pemroses rokok tradisional, foto-foto, dan sebagainya) itulah yang menjadi inti dari isi Museum Kretek.
Guna menambah daya pikat pengunjung, di samping kiri museum agak ke depan didirikan rumah adat Kudus, meski tidak sebagus dan selengkap rumah adat Kudus yang dimiliki puluhan warga. Selain masih dijumpai banyak kekurangan, tetapi menurut Djoko Herryanto, kehadiran Museum Kretek, mempertegas Kudus Kota Kretek. Ini bisa disejajarkan dengan Jakarta Kota Metropolitan, Jogjakarta Kota Pelajar, Pekalongan Kota Batik. Namun masih dibutuhkan perjuangan warga Kudus, pengusaha rokok, akademisi, dan Pemkab Kudus untuk membentuk image bahwa Kudus Kota Kretek mempunyai nilai strategis untuk mengangkat nama Indonesia sejajar dengan bangsa-bangsa lain di dunia.
Ia menambahkan, bila pengakuan resmi tingkat daerah, nasional, dan internasional mampu diwujudkan dalam bentuk simbiosis yang sempurna antara de jure dan de facto, tentulah akan menjadi suatu kebanggaan tersendiri bahwa di sinilah, di negeri Indonesia, budaya kretek kali pertama muncul.Ditengah terpuruknya ekonomi dan tidak menentunya nasib rakyat, masih ada satu kebanggaan rakyat negeri ini, yakni pengakuan dunia internasional bahwa rokok kretek adalah murni penemuan putera bangsa Indonesia.
Sejarah mencatat, rokok kretek ditemukan oleh H. Djamhari yang kemudian dikembangkan oleh konglomerat Kudus bernama Ki Nitisemito. Ki Nitisemito merupakan salah satu legenda dan pengusaha rokok kretek di Indonesia dengan produknya (Bal Tiga) yang terkenal pada masanya. Peninggalan Ki Nitisemito yang tersisa saat ini, adalah "rumah kembar" dengan arsitektur menawan yang berada di Barat dan Timur Kaligelis, tak jauh dari Menara Kudus berada. Rokok kretek sendiri telah menjadi salah satu tulang punggung perekonomian rakyat di berbagai daerah seperti Kudus, Kediri dan Malang. Ratusan ribu tenaga kerja terserap di sini. Tentunya ini meringankan beban Negara untuk menyiapkan lapangan kerja bagi rakyatnya. Selain itu, pendapatan Negara dari hasil bea cukai perusahaan rokok tidak lah sedikit.
Triliun rupiah setiap hari masuk ke kas Negara dari bea cukai rokok. Cukai rokok terbesar didapat dari perusahaan-perusahaan besar seperti Djarum, Sampoerna, Gudang Garam, Bentoel, Nojorono dan Sukun. Besarnya penghasilan Negara dari bea cukai rokok ini, tentu berperan signifikan bagi pembangunan Negara, pendapatan Negara dari cukai rokok tersebut dipergunakan dengan semestinya. Segala sesuatu mempunyai sejarahnya masing-masing. Tak terkecuali rokok kretek. Keberhasilan perusahaan-perusahaan rokok raksasa yang ada, tidak didapat secara tiba-tiba. Melainkan sejarah panjang dan perjalanan yang melelahkan, harus dilalui. Sejarah panjang dan perjalanan rokok kretek di Indonesia, dapat kita baca dan saksikan dalam museum kretek yang ada di Kudus. Sebuah museum yang di dalamnya sejarah rokok kretek terseimpan. Mesuem ini juga mempunyai miniatur proses pembuatan rokok mulai dari awal hingga dipasarkan.
Sayang, keberadaan museum ini kurang begitu dikenal oleh masyarakat secara luas. Padahal, museum ini selain sebagai tujuan wisata, juga bisa dijadikan sebagai tempat riset (penelitian) pelajar, mahasiswa dan cendekiawan lainnya. Karenanya, pemerintah daerah hendaknya memperhatikan keberadaan yang secara structural, seharusnya berada di bawah dinas pariwisata dan kebudayaan.
Pertama, memperbanyak sosialisasi tentang keberadaan museum ini hingga tingkat nasional dan internasional. Selama ini, sosialisasi terkait museum kretek baik di tingkat local, regional maupun nasional, sangat lah kurang. Sehingga museum kretek kurang dikenal. Ironisnya, museum cagar budaya ini lebih banyak dijadikan sebagai ajang memadu kasih para remaja.
Kedua, mempercantik museum dan penambahan fasilitas. Keberadaan museum kretek saat ini, kurang lah menarik bagi pengunjung. Selain koleksi yang terlihat kotor, fasilitas pendukung yang bisa merangsang pengunjung untuk datang juga sangat kurang. Hanya ada satu bangunan pendukung, yaitu rumah adat sumbangan dari PT. Djarum.
Ketiga, menjalin kerjasama dengan berbagai perguruan tinggi dan dinas terkait untuk melaksanakan riset serta diskusi dan seminar. Dengan begitu, sosialisasi secara tidak langsung akan lebih meluas di kalangan masyarakat. Selayaknya lah warga kudus berbangga, karena ialah satu-satunya kota yang memiliki museum kretek. Dengan itu pula, Kudus dikenal dengan sebutan "Kota Kretek".
Keberadaan museum kretek tersebut, pada gilirannya memunculkan tanggungjawab besar untuk merawatnya di satu sisi. Di sisi lain, keberadaannya juga bisa membawa berkah bagi masyarakat sekitar. Museum akan memiliki nilai manfaat, apabila keberadannya tidak sekadar dilihat sebagai prasasti atau monument. Lebih dari itu, dijadikan sebagai tujuan wisata sejarah, yang bisa meberikan kontribusi bagi pertumbuhan ekonomi masyarakat sekitar secara tidak langsung.
Untuk mewujudkan cita-cita ini, tidak sulit. Karena museum ini berdekatan dengan sarana pendukung, yaitu kawasan kuliner khas Kudus, yaitu Lentog Tanjung dan Soto Ayam Pak Denuh. Selain itu, tak jauh dari sana, juga terdapat pusat jenang Kudus Mubarokfood Cipta Delicia dengan produknya yang sudah dikenal hingga Brunai, Malaysia, Abu Dhabi, Arab Saudi, Singapore bahkan Amerika.
Namun niatan itu, tidak akan berarti tanpa adanya dukungan dan perhatian pemerintah setempat dan tentu saja oleh persatuan perusahaan rokok yang ada. Sinergi antara pemerintah daerah dan pengusaha rokok kretek menjadi sesuatu yang wajib dilakukan, agar mewujudkan kudus sebagai pusat wisata kota kretek, tidak lagi sekadar wacana. Selayaknya lah, masyarakat Kudus berbangga dengan keberadaan museum kretek di kotanya
MUSEUM KRETEK KUDUS
Museum Kretek Kudus berada di Jalan Getas Pejaten 155, Kudus. Gagasan pendirian museum ini bermula dari Gubernur Jawa Tengah pada waktu itu, Bapak Soepardjo Roestam yang melihat kota Kudus sebagai ”Kota Kretek” tetapi belum memiliki pusat informasi tentang keberadaan maupun sejarah perkembangan rokok kretek di Kudus. Gagsan tersebut disambut baik oleh Persatuan Pabrik Rokok Kudus (PPRK) yang selanjutnya merencanakan dibangunnya Museum Kretek pada lahan seluas 4,5 Ha dengan luas bangunan 1.500 m2. Pada tanggal 3 Oktober 1986 Museum Kretek Kudus diresmikan oleh Bapak Soepardjo Roestam. Pada lahan tersebut juga dibangun rumah tradisional Kudus lengkap dengan kamar mandinya yang berada di luar rumah.
Koleksi yang dimiliki antara lain benda-benda pribadi milik Nitiemito, tokoh rokok kretek Kudus (blangkon, jam, tempat rokok, surat-surat, pena, foto diri), diorama pembuatan rokok kretek secara tradisional dan secara modern, mesin-mesin pembuatan rokok kretek (gilingan cengkeh dan gilingan tembakau), jenis-jenis tembakau dan cengkeh, macam-macam produksi rokok kretek tempo dulu, macam-macam barang promosi (gelas, poci, piring, mangkok, kaos, topi, dll), foto-foto para tokoh pendiri pabrik rokok kretek di Kudus.
Langganan:
Postingan (Atom)